Dilema Rokok di tengah kebiasaan

Dewasa ini kita sering mendapati kemasan rokok dengan kemasan bergambar “horror” pada kemasannya.

Untuk memenuhi kewajiban pencantuman peringatan kesehatan berupa gambar yang bahasa kerennya disebut Pictorial Health Warning (PHW), atau melihat banner iklan rokok dijalanan dengan gambar pak tua yang berselimut rokok dengan tagline merokok membunuhmu.

Kalau memang rokok dilarang, tutup saja pabriknya, batasi impornya atau sekalian hentikan impor segala hal yang berkaitan dengan rokok, biarkan rokok menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang.

Tapi memang tidak semudah itu keadaannya, karena rokok bisa dikatakan sudah membudaya di masyarakat kita.

Bagi perokok, Minum kopi tanpa rokok!? Seperti sayur tanpa garam, berasa seperti ditendang kuda tapi gak bisa mbales.

Walaupun tidak semua penikmat kopi adalah perokok, tapi hal ini menjadi dilema tersendiri akan posisi rokok di tengah kebiasaan masyarakat.

Belum lagi istilah uang rokok untuk menghargai sebuah jasa atau pekerjaan yang tarifnya tidak bisa di bicarakan karena faktor sungkan.

Dan tentu masih banyak kebiasaan masyarakat kita yang berkaitan dengan rokok, yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Mungkin kalau harga rokok melambung tinggi setinggi langit seperti dibeberapa Negara dibelahan dunia antah-berantah, maka pengguna rokok mungkin akan berkurang karena sudah kesulitan untuk menebusnya.

Kalo dibandingkan sekarang yang dengan harga rokok seribu rupiah perbatang atau hanya sekitar 7000 sebungkus saja sudah bisa menikmati nikmatnya merokok.

kopi plus rokok
Disatu sisi produsen rokok gencar berpromosi produknya di berbagai lini dengan tujuan agar produknya dapat laku dipasaran tapi disisi lain pemerintah pun gencar berkampanye akan bahaya merokok bagi kesehatan.

Disatu sisi pemerintah mendapat tambahan pendapatan dari cukai rokok tetapi disisi lain pemerintah perlu mengalokasikan  anggaran  di sektor kesehatan untuk menanggulangi masalah kesehatan akibat rokok. Belum lagi alokasi dana untuk kampanye bahaya rokok bagi kesehatan.

Disamping itu para produsen rokok pun berkontribusi aktif  turut serta membangun Indonesia dalam bentuk bantuan beasiswa bagi putra putri Indonesia yang berprestasi, seperti contoh beasiswa dibidang bulu tangkis ataupun dibidang pendidikan.

Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri mengingat jika podusen rokok ditutup, apakah pemerintah siap meneruskan program-program disektor tersebut yang sudah mulai berjalan dan banyak membantu generasi muda meraih cita-citanya.

Memang perlu dilakukan pembatasan agar rokok tidak dengan mudah dapat diakses oleh siapa saja. Tapi pada kenyataannya sekarang, siapapun dapat dengan mudah membeli rokok.

Bahkan anak kecil pun sudah bersentuhan dan mengenal rokok, minimal saat seorang anak disuruh orang tuanya untuk membeli rokok diwarung.

Secara tidak langsung seorang anak sudah berkenalan dengan rokok dan otomatis sudah mulai timbul rasa penasaran terhadap rokok hingga suatu saat anak tersebut mulai berani atau berkesempatan untuk mencobanya.

Bagaimana seharusnya fenomena rokok ini disikapi. Seberapa besar sebenarnya keuntungan yg diperoleh pemerintah dari sektor rokok di banding anggaran yang harus dikeluarkan akibat rokok.